Foto: Elvaretta Gasiona |
Siapa yang tidak tahu
ondel-ondel?
Boneka raksasa yang terbuat dari anyaman bambu dengan tinggi 2,5 meter dan berdiameter sekitar 80 cm ini merupakan warisan kesenian Betawi dan bisa dibilang maskotnya kota Jakarta. Kerangkanya terbuat dari rangkaian bambu karena mudah dibengkokkan serta dapat meringankan saat dipikul oleh penarinya.
Bentuk
ondel-ondel menyerupai boneka manusia dan selalu tampil berpasangan. Biasanya
ondel-ondel pria wajahnya berwarna merah dan berkumis, sedangkan yang wanita
berwarna putih dengan bibir dipoles lipstik merah. Bagian wajahnya berupa
topeng atau kedok dan rambutnya terbuat dari ijuk yang dihiasi kertas
warna-warni.
Boneka
raksasa ini awalnya bukan disebut ondel-ondel, melainkan barongan. Disebut barongan
karena cara penggunaannya yang diarak bersama atau barengan.
Tetapi
tahukah Anda bahwa pada mulanya ondel-ondel bukan sebagai hiburan seperti
sekarang ini? Dikutip dari indonesiakaya.com pertunjukan rakyat Betawi ini sebenarnya menyimbolkan leluhur yang senantiasa
menjaga anak cucunya atau penduduk suatu desa sebagai penolak bala atau
gangguan roh halus yang gentayangan.
Fungsinya
sebagai pengusir roh jahat menjadikan ondel-ondel tidak dibuat secara
sembarangan. Masyarakat Betawi harus membuat sesajen atau mengadakan ritual
khusus terlebih dahulu agar roh yang masuk adalah roh yang baik dan dapat
mengusir roh jahat.
Salah
seorang sepuh di Kampung Betawi Setu Babakan, Samin Jebul mengatakan, “Maksud
dari ondel-ondel awalnya untuk mengusir roh jahat, tetapi sekarang ini bisa
disebut sebagai hiburannya orang Betawi.”
Bergesernya
fungsi ondel-ondel, menjadikannya lebih sering tampil untuk menambah semarak pesta rakyat, penyambutan
tamu kehormatan, arak-arakan pengantin sunat, acara pernikahan, pawai budaya,
dan sebagainya. Lagu yang mengiringi pun tidak terlepas dari musik khas Betawi
dan itu disesuaikan dengan rombongannya masing-masing.
Dalam
adat perkawinan Betawi, arak-arakan pengantin pria yang akan mengunjungi
kediaman pengantin wanita biasanya dimeriahkan dengan adanya kelompok musik
tanjidor, ondel-ondel, serta kesenian pencak silat.
Selama
aksinya, para penari yang berada dalam ondel-ondel akan berjingkrakan dengan
menggoyangkan badan serta menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Di saat
yang bersamaan, musik khas Betawi akan mengiringinya, seperti tanjidor, gambang kromong, gendang pencak,
bende, ningnong, dan rebana ketimpring.
Keunikan
dan kemeriahan arak-arakan tersebut membuat masyarakat sekitar tertarik untuk
menyaksikannya. Sayangnya, adat ini sudah jarang digunakan orang Betawi dalam melangsungkan
perkawinannya. Mereka cenderung memilih untuk menyewa jasa organ tunggal atau
semacamnya.
Bahkan
sekarang ini tak jarang ondel-ondel digunakan untuk meraup rezeki dengan cara
“mengamen”. Caranya pun beragam, ada yang berkeliling lengkap dengan
rombongannya—ondel-ondel beserta musik pengiring—, ada pula yang menjadikan
ondel-ondel sebagai objek foto pengunjung di tempat-tempat wisata.
“Selain
karena senang dengan keseniannya, saya juga ingin melestarikan kebudayaan
Betawi. Jangan sampai ondel-ondel itu musnah. Makanya di sini kita kembangkan.
Kalau bukan kita, siapa lagi?” ujar Hendra, salah satu orang yang meraup rezeki
menggunakan ondel-ondel sambil tersenyum.
Walaupun
fungsi dari ondel-ondel sudah berubah, sebaiknya tetap dipertahankan dan
dilestarikan. Jangan sampai kebudayaan negara kita sendiri punah karena modernisasi.
Tulisan ini sudah dimuat pada 2 Juni 2017 di koranbogor.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar